Loading...

TERPERANGKAP BADAI RINJANI


MENGAHADAPI BADAI GUNUNG RINJANI | Tulisan ini adalah pengalaman saya sewaktu mendaki Rinjani tahun 2007 silam. Pendakian di musim hujan, bulan Desember. Pendakian pada musim hujan tidak disarankan, namun karena alasan waktulah maka dipilih bulan Desember. Kami tahu Desember sudah masuk musim hujan, maka peralatan kami siapkan sebaik mungkin. Tenda, raincoat/ponco, kantong plastik tali dan peralatan lain sudah siap. Maka perjalananpun dimulai.

Berangkat dari Mataram dengan kendaraan charteran diisi 7 orang penumpang. Saya, Anjas, dengan 3 orang teman cewek dari Jakarta, terus Arya juga membawa seorang teman plus satu orang sopir, Syarifuddin. Sesampai di Aikmel kami singgah sebentar untuk membeli beberapa keperluan pendakian. Orang-orang di pasar Aikmel menyarankan supaya tidak naik gunung waktu hujan. Tapi kapan lagi bisa ke Lombok, begitu kata cewek-cewek yang dari Jakarta.  Perjalananpun kami lanjutkan.

Tak berapa lama di dalam kendaraan hujan deras  mulai turun. Sesampai di gapura Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), musibah datang, as mobil yang kami tumpangi patah. Terpaksa harus ganti kendaraan karena masih jauh dari Sembalun. Sampai di Sembalun, setelah melapor di pos pendakian,  langsung menuju Bawak Nao, tempat di mana perjalanan pendakian dimulai. Seusai berdoa perjalanan kami mulai menuju pos 1 Sembalun.

Hari itu kami hanya sampai di pos 3 Tengengean. Kami bermalam di sana. Kebetulan juga disana bertemu dengan salah saorang pendaki dari Wapala Unram yang juga mengantar tamu dari Jawa. Malam itu cuaca tidak terlalu dingin seperti biasanya. Saya bahkan tidur tanpa mengenakan sleeping bag. Sungguh hal yang tidak biasa. Paginya selesai sarapan perjalanan menuju pos 4 Kalimati. Sesampai di Kalimati kami beristirahat sejenak sebelum menanjak bukit penyiksaan, trek paling melelahkan di Rinjani.Setalah susah payah mendaki bukit Penyiksaan, akhirnya kami sampai di rest area terakhir sebelum menuju puncak: Plawangan Sembalun. Sudah mau gelap waktu itu, sekira jam 18.30.

Sampai di Plawangan adalah saat-saat yang paling dinantikan, karena sebentar lagi sampai puncak Rinjani. Tapi tidak demikian dengan kami waktu itu. Sampai di Plawangan kami dihantam oleh badai. Tak terbayangkan karena di bawah cuaca normal. Tergopoh-gopoh memasang tenda dan segera melemparkan tas carrier ke dalam tenda, sebab jika tak begitu tenda akan diterbangkan angin. Kami segera masuk tenda, berharap angin segera reda. Yang terjadi malah sebaliknya, sekitar jam 12.00 tengah malam hujan mulai turun memperparah keadaan.

Terpaan angin dan  hujan semakin malam semakin semakin parah. Air mulai merembes masuk ke dalam tenda. Frame tenda sudah patah semua. Sleeping bag sudah mulai basah, raincoat tak banyak membantu karena air masuk dari bawah dan atas. Jadilah kami tidur di atas genangan air di Plawangan. Sungguh hal yang tidak pernah aku bayangkan. Tidak banyak yang bisa kami perbuat malam itu. Di tenda sebelah terdengar teriakan-teriakan takbir.

Kaki dan seluruh tubuhku sudah ngilu karena dingin, tak berani terlalu banyak bergerak, sebab bergerak sedikit saja, dinginnya terasa semakin menusuk. Jika tak digerakkan pegalnya minta ampun. Serba salah. Hanya doa yang kami panjatkan malam itu semoga selamat sampai pagi. Sempat terpikir olehku bahwa kami akan pulang dalam kantong mayat. Sungguh mengerikan. Tapi sebagai seorang pendaki gunung, pikiran positif harus tetap dijaga. Jangan panik dan jangan putus asa. Badai pasti berlalu.

Badainya tak kunjung berlalu.
Malam itu adalah malam terpanjang dalam sejarah pendakianku. Sebab tak bisa tidur sekejappun dan harus menunggu pagi berharap paginya badai sudah berhenti. Tapi harapan tinggal harapan, sampai pagi badai tak kunjung berhenti.  Anginnya masih kencang tapi hujan sudah reda. Tenda-tenda pendaki lain ternyata juga sama. sudah tidak ada yang berdiri tegak, roboh diterjang badai. Entah ada berapa tenda di sana waktu itu, ada tiga atau enam tenda saya lupa. Yang terpikirkan adalah bagaimana menyelamatkan diri dan tim dari amukan badai.

sekira jam 06.00 dengan bergegas kami segera melakukan evakuasi ke pancuran air di bagian bawah pelawangan, sambil berpegangan pada tali prusik. Di pancuran kami bisa berlindung dari terpaan badai. Barang-barang kami tinggalkan, hanya membawa tali prusik, fly sheet dan trangia untuk memasak air. Di tempat ini relatif aman, setidaknya badai tidak langsung menghantam, tapi suaranya masih terdengar mengerikan. Entah berapa lama kami terperangkap dalam badai ini. Hanya menunggu dan menunggu.

Sekira jam 14.00 badai tak juga berhenti, akhirnya kami memutuskan pulang kembali ke Sembalun melewati badai. Packing barang sekenanya saja, yang penting masuk dan tidak ketinggalan. Harapan untuk ke puncak sudah kami kubur bersama badai.  Pulang dengan bawaan yang hampir semuanya basah, berat beban menjadi bertambah. Berjalan sambil merunduk karena anginnya sangat kencang. Dengkul serasa mau pecah akibat beban yang terlalu berat.

Sampai di Bawak Nao lagi sekira jam 19.00 menjelang Isya. Dengan menumpang mobil pick up kami menuju RTC Sembalun, bermalam  di  sebuah home stay yang terletak di belakang RTC Sembalun. Tak mau lagi mengenang malam sebelumnya. Paginya, dari jauh kupandangi puncak Rinjani yang biru. Semalam kami di sana melawan badai.

Sembari menunggu jemputan, kami ngobrol sambil minum kopi, tak ada badai di sini. Entah di puncak gunung itu. The End Menghadapi Badai Gunung Rinjani.

Thanks to Anjas Jaxi untuk koreksinya.

Baca Juga: Tips mendaki gunung

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TERPERANGKAP BADAI RINJANI"

Post a Comment